JAKARTA, KOMPAS.com –
Indonesia Corupption Watch (ICW) menilai, Kejaksaan Agung (Kejagung)
tidak boleh lemah dan harus segera mengeksekusi terpidana korupsi Bupati
Aru Theddy Thengko. Ada beberapa alasan yang menjadi dasar Kejaksaan
untuk tetap mengeksekusi Theddy.
“Setidaknya ada empat alasan. Pertama, Mahkamah Agung sudah mengeluarkan putusan yang berkekuatan hukum tetap atau
inkracht terhadap perkara tersebut,” ujar peneliti ICW Donal Fariz di Kantor ICW, Jakarta Jumat (14/12/2012).
Dalam
putusan MA nomor 161 K/PID.SUS/2012 10 April 2012, Theddy dihukum 4
tahun penjara atas kasus dugaan korupsi dana APBD Kabupaten Kepulauan
Aru tahun anggaran 2006 - 2007 senilai Rp 42,5 miliar.
Kemudian,
alasan kedua, tugas Jaksa dalam melakukan eksekusi telah diatur dalam
pasal 270 KUHAP. Tindakan Jaksa yang dilakukan pada Bupati Aru pun telah
berdasar aturan hukum yang berlaku.
Dalam proses melakukan
eksekusi tersebut, Theddy, melalui kuasa hukumnya Yusril Ihza Mahendra,
pernah melakukan upaya hukum dengan mengajukan permohonan
Non Executable atau
non Eksekutorial (putusan tidak dapat dilaksanakan) terhadap putusan MA.
Pengadilan
Negeri Ambon kemudian mengabulkan permohonan tersebut 12 September
2012. Namun Kepala Kejaksaan Negeri Dobo kembali mengajukan permohonan
pembatalan penetapan Pengadilan Negeri Ambon ke MA pada 25 September
2012. MA akhirnya menyatakan bahwa penetapan Pengadilan Negeri Ambon
batal dan tidak berkekuatan hukum. Sesuai ketentuan pasal 1 butir 6 (a)
jo Pasal 270 KUHAP, maka putusan MA nomor 161 K/PID.SUS/2012 10 April
2012 telah berkekuatan hukum tetap dan wajib untuk dilaksanakan eksekusi
oleh Jaksa Penuntut Umum.
Donal pun mempertanyakan putusan MA
yang sempat dibatalkan oleh Pengadilan Negeri Ambon pada 12 September
2012 atas permohonan Yusril.
“Hakim PN Ambon bertindak tidak sesuai kewenangann. MA kan, pengadilan paling tinggi,”
Theddy
merupakan buronan asal Kejaksaan Tinggi Maluku atas kasus dugaan
korupsi dana APBD Kabupaten Kepulauan Aru tahun anggaran 2006 - 2007
senilai Rp 42,5 miliar. Sesuai putusan MA nomor 161 K/PID.SUS/2012 ia
dijerat 4 tahun penjara.Ia juga didenda Rp 500 juta, dan mengganti
kerugian negara Rp 5,3 miliar.
Sejak divonis bersalah Mahkamah
Agung, April lalu, Kejaksaan Negeri Aru sudah dua kali memanggilnya,
tetapi Theddy selalu mangkir. Theddy terancam dijemput paksa jika
panggilan terakhir oleh kejaksaan tidak dipenuhinya.
Hingga
akhirnya, Tim Satuan Tugas Kejaksaan Agung RI berhasil mengamankan
Theddy di Hotel Menteng, Jalan Cik Ditiro, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu
(12/12/2012) pukul 11.45. Setelah itu ia langsung dibawa pihak Kejaksaan
ke Kejagung untuk pemeriksaan lanjutan. Dari Gedung Kejaksaan Agung,
Jakarta Selatan, Theddy dibawa oleh tiga orang dari Kejagung ke Bandara
Soekarno Hatta untuk diterbangkan ke Ambon, Maluku, Rabu malam, agar
dirinya menjalani eksekusinya.
Pukul 23.00 di Bandara
Soekarno-Hatta terdapat puluhan massa yang berusaha menahan Theddy
karena tidak setuju sang Bupati dibawa oleh tim dari Kejaksaan. Saat
selisih paham itulah Polres Bandara mengamankan mereka untuk menghindari
hal yang tidak diinginkan. Theddy pun akhirnya gagal dieksekusi.
Donal
mengatakan, batalnya eksekusi Theddy dapat mencoreng nama Kejaksaan
Agung sebagai lembaga penegak hukum. Tak hanya Kejaksaan Agung, Polisi
yang saat itu ada pada kejadian juga dianggap bertanggung jawab.
“Jaksa
tidak boleh mundur. Persoalan ini tidak hanya mencoreng wajah
Kejaksaan, tapi juga Polisi. Kalau dibiarkan, para penegak hukum, polisi
dan jaksa kalah dengan aksi premanisme,” tandasnya.